MESUJI MESUJIPOS.COM-Ngaben merupakan upacara pembakaran atau kremasi jenazah yang
dilakukan oleh umat Hindu di Bali dan Luar Bali Upacara Ngaben ini dianggap sangat penting bagi umat Hindu, biasanya pelaksanaan upacara ngaben tersebut
dilaksanakan dalam tiga, lima dan sepuluh tahun hal ini disebabkan karena dalam
pelaksanaan upacara ngaben tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit serta kondisi ekonomi dari keluarga yang akan melaksanakan upacara ngaben tersebut.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukarelawan (2011) di Desa Sudaji,
Singaraja,Bali, besarnya biaya yang digunakan dalam upacara ngaben sekitar seratus lima puluh juta sampai dua ratusan juta rupiah, yang kebanyakan di lakukan oleh orang kaya saja.
Karena mahalnya biaya ngaben
tersebut sehingga kebanyakan masyarakat bsik di Bali maupun diluar Bali beranggapan bahwa upacara ngaben itu
membutuhkan biaya yang banyak.
Seiring berjalannya waktu akhirnya tercetuslah pemikiran tentang upacara ngaben massal.
Ngaben massal merupakan upacara ngaben yang dilakukan secara
berkelompok dan serentak. Upacara ini dapat membantu masyarakat yang ingin
melakukan ngaben tetapi tidak memiliki biaya. Ngaben massal hingga saat ini
telah dilakukan di beberapa daerah di Bali juga di luar Bali karena pelaksanaan dianggap tidak menyebabkan masyarakatnya tertekan oleh agama maupun adat.
Meski pelaksanaan upacara ngaben ini dilakukan secara massal namun tetap memiliki manfaat positif yang banyak, mengingat pelaksanaannya dilakukan secara bersama oleh masyarakat yang mengikuti upacara ngaben serta biaya yang dikluarkan pastinya akan lebih murah namun tidak mengurangi makna yang
terkandung dalam upacara ngaben massal tersebut.
Secara umum upacara Ngaben massal dilaksanakan oleh Desa Adat. Desa
adat akan memfasilitasi masyarakat/krama Desa yang ingin mengikuti upacara
ngaben mulai dari tempat pelaksanaan, banten, sarana dan prasarana dalam
pelaksanaan upacara ngaben. Masyarakat yang akan mengikuti ngaben massal ini
hanya akan mengumpulkan peturunan atau iuran dan melakukan ngayah.
Jumlah peturunan
yang akan dikumpulkan ke pihak desa sebelumnya telah disepakti oleh
masyarakat yang akan mengikuti ngaben massal tersebut.
Ada kalanya polemik peturunan
ngaben massal masih menjadi masalah bagi beberapa masyarakat dengan kondisi
ekonomi yang sulit. Meski biaya ngaben yang dikeluarkan terbilang sedikit tetap
saja hal tersebut masih menjadi beban. Kondisi ekonomi yang sulit tapi dengan
tuntutan “wajib melakukan upacara ngaben”maka hal itu dapat terpenuhi.
Namun Berbeda dengan Upacara Ngaben di Desa Adat/Pekraman Baru Mekar yang terletak di Desa Braja Grmilang di Kecamatan Braja Selebah,Kabupaten Lampung Timur,Provinsi Lampung.
merupakan salah satu desa yang melaksanakan ngaben massal secara kelompok yang di pelopori jro mangku Dalem pada Jumat (7/7/23) dengan jumlah Tujuh Sawe atau Jenazah .
Dalam pelaksanaan ngaben massal tersebut di puput Oleh Sulinggih pendande atau sejenisnya serta di bantu para jro mangku Desa Setempat .
Ketujuh Sawe yang di Abenkan berasal dari masing masing kawitan antara lain; Dalem Pule sari,Pasek celagi,sengguh,Bendesemas dan pasek gelgel.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat dipahami adanya bebe-
rapa re-interpretasi makna dari pelaksanaan Upacara Ngaben Massal di Desa
Pakraman Baru Mekar,Braja Gemilang, seperti pada uraian berikut.
1. Reinterpretasi Makna Filosofi Agama
Secara filosofis, makna Upacara Ngaben yang dilakukan oleh masyarakat
pada umumnya, termasuk Upacara Ngaben Massal adalah sebagai proses untuk
mempercepat pengembalian unsur-unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya atau ke
sumbernya masing-masing. Upacara Ngaben juga mempunyai makna sebagai mem-
bantu perjalanan Atman menuju Brahman. Dengan kembalinya unsur-unsur
Panca Maha Bhuta yang membentuk Sthula Sarira maka Atman telah meningkat-
kan perjalanannya dari Bhur Loka sampai pada Bhuwah Loka. Dalam Bhuwah
Loka ini Atman masih berbadankan Suksma Sarira. Dengan demikian Upacara
Ngaben itu adalah upacara penyucian Pitara tahap pertama, yaitu dengan mele-
paskan Pitara dari ikatan Panca Maha Bhuta.
Terkadang di tengah masyarakat terdapat pemahaman yang kurang sesuai
dengan sastra agama, mengenai hakikat dan tujuan dari Upacara Ngaben tersebut.
Sering pelaksanaan Ngaben diinterpretasi secara keliru, yaitu untuk mencarikan
tempat roh para leluhurnya di Sorga. Dalam perjalanan roh leluhur menuju
sorga, memerlukan bekal atau beya yang banyak dalam bentuk banten yang
besar. Dengan adanya interpretasi masyarakat seperti ini, maka terutama masya-
rakat yang kaya akan berusaha untuk melakukan Upacara Ngaben dengan sarana
banten yang besar (ngabehin) agar roh para leluhurnya dapat mencapai Sorga.
Jika dikembalikan kepada hakikat Ngaben secara filosofisnya, seperti di-
uraikan di atas, maka sebenarnya Upacara Ngaben tidak bisa dikaitkan dengan
pencapaian sorga ataupun neraka. Masalah sorga dan neraka adalah persoalan
lain dari Upacara Ngaben. Sebab itu ditentukan oleh sisa hasil perbuatan di waktu hidupnya (karma wasana) seseorang. Hukum Karmaphala salah satu kepercayaan
Agama Hindu menggariskan bahwa karma baik maupun karma buruk tidak bisa
dikurangi, dan harus diterima seutuhnya (Cudamani,1998 dalam Atmadja, 2001:
142). Dari hasil analisis terhadap data yang dikumpulkan, dapat dijelaskan bahwa
masyarakat Desa Pakraman Sudaji, melalui Ngaben Massal, telah melakukan re-
interpretasi secara filosofis, menyangkut keyakinan sorga dan neraka. Beberapa
responden mengatakan “kalaupun dengan upacara besar, upacara kecil tidak akan
menentukan roh itu mencapai sorga. Konon yang menentukan kedudukannya di
akhirat nantinya adalah baik buruknya perbuatan yang dilakukan semasih hidup-
nya Pandangan seperti itu adalah sesuai pendapatnya Hadiwijono dalam
Atmadja (2001: 142) dengan mengemukakan bahwa Agama Hindu tidak mengenal ritual penebusan dosa, sebagaimana yang berlaku pada keyakinan agama tertentu.
“Dosa seseorang hanya dapat ditebus dengan berbuat kebajikan, semasa
hidupnya. Kalau orang sudah mati, maka yang bersangkutan akan membawa
karma pada perbuatannya di dunia (Surya Kanta, 1925 dalam Atmadja, 2001: 143).
Adanya re-interpretasi secara filosofis terhadap hakikat Upacara Ngaben, se-
perti itu mengindikasikan adanya pemahaman masyarakat yang lebih jelas terhadap Ngaben berdasarkan ajaran (sastra) agama”.Kata Hadiwijono.
Dengan pemahaman ini, berarti telah timbul pencerahan masyarakat, yang tidak lagi memandang bahwa Ngaben
itu harus dilakukan dengan ngabehin (biaya besar) sehingga masyarakat dapat
menerima cara Ngaben massal dengan biaya yang lebih ringan.
2. Reinterpretasi Makna Sebagai Dekonstruksi Wacana Hegemoni Kultural
Tradisi Upacara Ngaben yang dilakukan dengan menonjolkan aspek sere-
monial yang megah dan meriah, sebenarnya dalam perkembangan situasi saat ini,
sudah tidak cocok untuk dilaksanakan, apalagi dilakukan dengan cara memaksa-
kan diri secara ekspresif hanya untuk sebuah kesan bahwa seseorang bisa atau
mampu mengikuti tradisi yang ada, sehingga dapat memberikan suatu kebanggaan
tersendiri untuk suatu prestise secara sosial bagi mereka yang melakukannya.
Jika misalnya masyarakat berusaha untuk mengikuti tradisi upacara dalam takaran-
nya yang lebih besar, hal itu disebabkan karena adanya suatu kekhawatiran ter-
hadap gunjingan atau penilaian masyarakat melalui “cap-cap sosial” seperti kikir,
pelit (demit) dan ungkapan-ungkapan lainnya yang dinilai dapat menganggu citra
atau nilai sosial terhadap pelaksanaan Upacara Ngaben tersebut.
Terjadinya kekhawatiran masyarakat seperti itu, disebabkan pula oleh
karena pada masyarakat lokal terdapat wacana kultural yang hegemonik, terhadap
cara pelaksanaan upacara yang lebih kecil (sederhana). Wacana kultural hegemo-
nik seperti itu, seolah-olah memberikan legitimasi yang kuat terhadap cara pe-
laksanaan upacara yang dilakukan secara besar-besaran, sehingga dapat mensubor-
dinasikan cara pelaksanaan Ngaben yang sederhana atau yang kecil.
Wacana kultural hegemonik secara struktur kebahasaan, yang hidup dan sering diucapkan oleh masyarakat setempat, adalah misalnya dalam ungkapan kalimat “ yen ngelah gae sing dadi demit” artinya jika orang mempunyai upacara (yajña) tidak boleh pelit atau kikir. Ungkapan “sing dadi demit” yang ditujukan kepada orang yang melakukan yajña adalah menjadi belenggu tradisi, yang menghegemoni masyarakat
yang berkeinginan untuk menggelar upacara dengan lebih sederhana, sehingga di
sini masyarakat akan merasa malu (lek) jika ia melakukannya.
Rasa malu (lek) bagi
masyarakat tersebut, menjadi kecenderungan masyarakat untuk selalu melakukan upacara secara besar-besaran walaupun dengan cara memaksakan diri hanya untuk selamat dari gunjingan masyarakat tersebut.(Wyn)